Tafsir firman Allah { وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيماً } ((dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia))
Berkata Syaikh As-Sa’di, “Yaitu ia mengucapkan kepada kedua orangtuanya dengan perkataan yang mereka berdua senangi dan ia berlemah lembut kepada mereka berdua dengan perkataan yang baik yang terasa enak dalam hati mereka berdua dan menenangkan jiwa mereka, yang hal ini bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi dan sesuai dengan waktu dan adat”[1]
Perkataan yang lemah lembut kepada orangtua merupakan amalan yang besar karena ia merupakan bentuk berbakti kepada orangtua, oleh karena itu janganlah sampai amalan –yang kelihatannya ringan ini – disepelekan.
Dari Thoisalah bahwasanya Ibnu Umar kepadanya,
أتخاف النار أن تدخلها قلت نعم قال وتحب أن تدخل الجنة قلت نعم قال أحي والداك قلت عندي أمي قال فوالله لئن أنت ألنت لها الكلام وأطعمتها الطعام لتدخلن الجنة ما اجتنبت الموجبات
“Apakah engkau takut masuk dalam neraka?”, aku berkata, “Iya”, ia berkata, “Dan apakah engkau ingin masuk dalam surga?” , aku berkata, “Iya”, ia berkata, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?”, aku berkata, “Ibuku bersamaku”, ia berkata, “Demi Allah jika engkau lembut tatkala berbicara dengannya dan engkau memberi makan kepadanya maka engkau sungguh akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar”[2]
Berkata Ibnul Haddaj At-Tujibi, “Aku berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyib semua yang ada di Al-Qur’an tentang berbakti kepada kedua orangtua telah aku pahami kecuali firman Allah { وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيماً } ((dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.)). Apakah yang dimaksud dengan perkataan yang mulia?”, Said bin Al-Musayyib berkata, قول العبد المذنب للسيد الفظ الغليظ “Perkataan seorang budak yang bersalah kepada tuannya yang keras dan kasar”[3]
Maksudnya adalah hendaknya sang anak berbicara kepada orangtuanya dengan perkataan yang mengandung tanda pengagungan dan penghormatan kepada orangtuanya.[4]
عن عمارة أبي سعيد قال قلت للحسن إلى ما ينتهي العقوق قال أن تحرمهما وتهجرهما وتحد النظر إلى وجه والديك يا عمارة كيف البر لهما
‘Ammaroh Abu Sa’id berkata, “Aku bertanya kepada Al-Hasan, hingga mana batasan durhaka (kepada kedua orang tua)?”, ia berkata, “Yaitu engkau melarang mereka berdua dan menghajr mereka berdua, dan engkau menajamkan pandanganmu ke wajah kedua orangtuamu, wahai ‘Ammaroh (tanyakanlah) bagaimana cara berbakti kepada kedua orang tua”[5]
Urwah bin Az-Zubair berkata, ما بر والده من شد الطرف إليه “Tidaklah berbakti kepada orangtuanya orang yang menajamkan pandangannya kepada orangtuanya”[6]
Urwah juga berkata, “Jika kedua orangtua membuat sang anak marah maka janganlah ia menajamkan pandangannya kepada mereka berdua karena tanda yang pertama kali diketahui bahwa seseorang marah kepada orang lain yaitu dengan pandangannya yang tajam kepada orang yang ia marahi”[7]
Al-Fudhail bin ‘Iyadh ditanya tentang berbakti kepada kedua orangtua maka ia berkata, أن لا تقوم إلى خدمتهما عن كسل “Ia tidak melayani keduanya dengan malas”[8]
Al-Hasan bin Ali berkata, يا أبت يا أمه ولا يسميهما بأسمائهما “Yaitu ia berkata “Wahai ayahanda, wahai ibunda, dan ia tidak memanggil dengan menyebut nama kedua orangtuanya”[9]
Abus Sa’ud berkata, “Seperti ia berkata يا أباه wahai ayahanda, يا أماه wahai ibunda sebagaimana kebiasaannya nabi Ibrahim ‘alaihissalam tatkala berbicara dengan ayahnya ia berkata يا أبت ((Wahai ayahku)) padahal ayahnya kafir”[10]
Zuhair bin Muhammad berkata, إذا دعواك فقل لهما لبيكما وسعديكما “Jika mereka berdua memanggilmu maka katakanlah kepada mereka berdua, “Aku penuhi panggilan kalian”[11]
Tafsir firman Allah { وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ } ((Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan))
Sang anak diperintahkan untuk merendahkan sayapnya (sebagaimana sayap burung) karena dua hal
Pertama, karena burung jika ingin memeluk anaknya untuk mendidiknya maka ia merendahkan sayapnya, oleh karena itu jadilah merendahkan sayap merupakan kinayah dari cara mendidik yang baik. Seakan-akan Allah berkata kepada sang anak “Peliharalah kedua orangtuamu dengan menempatkan mereka berdua bersama engkau sebagaimana mereka berdua telah melakukan hal tersebut kepadamu tatkala engkau kecil.
Kedua, karena burung tatkala ingin terbang dan meninggi maka iapun membuka sayapnya, dan jika ia ingin mendarat dan turun maka iapun merendahkan sayapnya, oleh karena itu jadilah merendahkan sayap adalah kinayah dari sikap tawadhu’ (merendahkan diri)[12]
Kemudian lafal جَنَاح (sayap) tersebut disandarkan (diidhofahkan) kepada lafal الذل, dan makna dari lafal Adz-Dzul adalah kelembutan, dan diriwayatkan dari ‘Ashim bahwasanya lafal Adz-Dzul diambil dari perkataan mereka (orang Arab) دابة ذلول بينة الذل (hewan tungangan yang sangat tunduk), dan Adz-Dzul adanya pada hewan tunggangan yang nurut dan jinak bukan hewan tunggangan yang liar dan sulit. Oleh karena itu hendaknya seorang anak menjadikan dirinya dihadapan kedua orangtuanya dalam keadaan sangat nurut dan lembut baik dalam perkataannya, gerak-geriknya, dan juga pandangan matanya. Janganlah ia menajamkan pandangannya kepada mereka berdua karena itu adalah pandangan orang yang sedang marah.[13] Allah tidak menyandarkan (mengidhofahkan) lafal جَنَاح kepada lafal الذل dalam firmanNya
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (QS. Asy Syuaraa 26:215)
dan Allah menyandarkannya disini (QS. Al Israa’ 24 ,pent) karena keagungan hak kedua orang tua dan untuk lebih menekankan hal itu[14]
Tafsir firman Allah {وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً} ((dan ucapkanlah:”Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”))
Allah ta’ala dalam ayat ini tidak hanya mencukupkan untuk mengajarkan cara berbakti kepada kedua orangtua dengan perkataan-perkataan (yang baik), bahkan Allah ta’ala juga mengajarkan cara berbakti dengan amal perbuatan yaitu dengan mendoakan kedua orangtua agar mendapatkan rahmat, maka Allah ta’ala pun memerintahkan sang anak untuk berdoa ((“Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya)), Dan lafal “Rahmat” mencakup seluruh kebaikan baik dalam perkara agama maupun dalam perkara dunia. Kemudian sang anak berkata ((sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”)), yaitu “Wahai Robku perlakukanlah mereka berdua dengan kebaikan jenis ini sebagaimana mereka berdua telah mendidikku dengan baik.”[15] .
Dan Allah menyebutkan tarbiah/didikan kedua orang tua dalam firmanNya {كَمَا رَبَّيَانِي} ((sebagaimana mereka berdua mendidikku)) agar sang anak selalu mengingat jasa kedua orangtuanya yang telah mendidiknya tatkala ia kecil dengan penuh kasih sayang dan kelelahan maka hal ini akan manjadikan sang anak lebih bersikap kasih sayang dan tunduk kepada kedua orangtuanya”[16]
Berkata Imam Al-Qurthubhi, “…Yaitu engkau merahmati (menyayangi) mereka berdua sebagaimana mereka merahmatimu, engkau bersikap lembut kepada mereka berdua sebagaimana mereka berdua bersifat lembut kepadamu, dimana mereka berdua telah memeliharamu tatkala engkau kecil dalam keadaan tidak mengerti apa-apa, dalam keadaan butuh, maka mereka berdua mendahulukanmu di atas diri mereka berdua, mereka bergadang semalam suntuk dalam keadaan lapar, mereka berdua menjadikan engkau kenyang, mereka (rela) untuk tidak memakai baju untuk mamakaikan engkau pakaian, maka tidaklah engkau bisa membalas jasa mereka berdua kecuali jika mereka berdua telah mencapai masa tua (jompo) yaitu suatu kondisi seperti kondisimu tatkala engkau kecil lalu engkau merawat mereka berdua sebagaiamana mereka berdua telah merawatmu, dan mereka tetap memiliki keutamaan karena lebih dahulu merawatmu”[17]
Berkata Adz-Dzhabi, “Keutamaan tetap lebih diutamakan kepada yang terlebih dahulu, bagaimana bisa sama (antara keutamaan kedua orang tua yang merawat engkau dengan perawatan engkau kepada kedua orangtuamu yang jompo), mereka berdua telah membersihkan kotoranmu dengan berharap agar engkau bisa terus hidup sedangkan engkau membersihkan kotoran mereka berdua dengan harapan agar mereka berdua meninggal”[18]
Perintah Allah {وَقُلْ} ((Dan katakanlah (berdoalah)!)), ini adalah lafal perintah, dan yang dzahir dari perintah adalah tidak mengharuskan untuk diulang-ulang pelaksanaannya[19], maka cukup bagi sang anak dalam untuk berdoa kepada kedua orangtuanya sekali saja dalam melaksanakan perintah Allah ta’ala dalam ayat ini. Namun Sufyan (bin ‘Uyainah[20]) pernah ditanya, “Berapa kalikah seharusnya seorang anak mendoakan kedua orangtuanya?, apakah dalam sehari sekali saja, ataukah sekali dalam sebulan, ataukah sekali dalam setahun?”, maka ia berkata,
نرجو أن نجزئه إذا دعا لهما في أواخر التشهدات كما أن الله تعالى قال }ياأيها الذين ءامنوا صلوا عليه{ فكانوا يرون أن التشهد يجزي عن الصلاة على النبي r وكما أن الله تعالى قال }واذكروا الله فى أيام معدودات{ فهم يكررون في أدبار الصلوات
((Aku berharap cukup baginya jika ia berdoa bagi kedua orangtuanya pada akhir setiap tasyahhud sebagaimana Allah berfirman
} يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ { (الأحزاب:56)
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi (QS. 33:56)
Dan mereka (para ulama) memandang bahwa tasyahhud cukup untuk melaksanakan perintah untuk sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Demikian juga sebagaimana firman Allah
}وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ{ (البقرة:203)
Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. (QS. 2:203)
Maka mereka mengulang-ngulang dzikir kepada Allah setiap akhir sholat))[21]
Bersambung…
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Tafsir As-Sa’adi (Taisir karimir rohman) 1/456
[2] Atsar riwayat Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya 5/39 dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/483
[3] Ad-Dur Al-Mantsur 5/259, diriwayatkan oleh Tafsir Al-Qurthubhi 10/243
[4] At-Tafsir Al-Kabir 20/152
[5] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 5/218 no 25404
[6] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 5/219 no 25409
[7] Ad-Dur Al-Mantsur 5/260
[8] Tafsir Abis Sa’ud 5/166
[9] Ad-Dur Al-Mantsur 5/259.
[10] Tafsir Abis Sa’ud 5/166
Jika dikatakan bahwasanya Nabi Ibrohim ‘alaihissalam adalah orang yang paling bijak, mulia, dan beradab, namun bagaimana ia berkata kepada ayahnya “Wahai Azar” (sesuai dengan qiroah mendommakan huruf ro’ pada kata آزرُ) dalam firman Allah
}وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَاماً آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ{ (الأنعام:74)
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar :”Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah. Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. 6:74)
Ibrohim dalam ayat ini memanggil ayahnya dengan menyebut namanya, dan ini menimbulkan rasa sakit bagi ayahnya, selain itu ia u juga menisbahkan ayahnya dan kaumnya kepada kesesatan dan hal ini merupakan penjengkelan kepada ayahnya.
Jawabannya, Allah telah berfirman
}وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً{
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”
Firman Allah ini menunjukan bahwa hak Allah lebih didahulukan di atas hak kedua orangtua. Dan sikap Ibrohim yang menyakiti ayahnya adalah karena ia mengedepankan hak Allah di atas hak kedua orangtua. (At-Tafsir Al-Kabir 20/152)
Namun musykilah (permasalahan) ini hanyalah jika dibaca dengan mendhommah huruf ro’ {آزَرُ} sehingga arti ayat adalah ((Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya “(Wahai) Aazar…”)), namun apabila dibaca dengan memfathah huruf ro’ {آزَرَ} maka i’robnya adalah badal sehingga arti ayat adalah ((Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya (yaitu yang bernama) Aazar…)).
Dan kita juga mendapati dalam ayat yang lain tatkala Ibrahim menegur dan menasehati ayahnya ia berkata dengan perkataan yang lembut dan tidak memanggil ayahnya dengan menyebut namanya, sebagaimana dalam firman Allah
}إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئاً يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطاً سَوِيّاً يَا أَبَتِ لا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيّاً يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيّاً{ (مريم:45-42)
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya:”Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak medengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang keadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang keadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu meyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab oleh Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”. (QS. 19:42-45)
[11] Atsar Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya 15/65, Lihat juga Ad-Dur Al-Mantsur 5/259
[12] At-Tafsir Al-Kabir 20/153, Fathul Qodir 3/218-219, Ruhul Ma’ani 15/56
[13] Tafsir Al-Qurthubhi 10/244
[14] Tafsir Al-Qurthubhi 10/244
[15] At-Tafsir Al-Kabir 20/153
[16] Al-Muharror Al-Wajiz fi tafsiril kitab Al-‘Aziz 3/449, Tafsir Al-Quthubhi 10/244
[17] Tafsir Al-Qurthubhi 10/244
[18] Al-Kabair 1/39
[19] Para ahli ushul fiqh berselisih pendapat dalam masalah ini
[20] Lihat Tafsir Al-Qurthubhi 14/56
[21] At-Tafsir Al-Kabir 20/153